|
Gambar Ilustrasi |
Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride
ini sungguh sangat mengharukan. Ada luka dan kesedihan yang
dirasakannya, tapi ia memilih untuk bertahan dan berjuang mendapatkan
hidup yang lebih baik.
***
Hai,
panggil saja aku Wita. Orang-orang biasa memanggilku begitu. Nama yang
bagus dan cukup unik menurutku, sesuai dengan identitas waktu tempatku
dilahirkan. Kota kelahiranku memang sebuah kota biasa agak terpencil
yang tidak banyak dikenal orang banyak.
Di tempat tinggalku dulu
sewaktu sekolah aku cukup dikenal baik oleh tetangga dan ibu-ibu
komplek sebagai anak yang cukup pintar. Bersyukur, karena aku dapat
masuk ke sekolah terfavorit di kotaku, bahkan dapat berkuliah di salah
satu PTN terbaik Indonesia di luar pulau tempatku tinggal. Sebuah
kebanggan tersendiri untuk anak kampung sepertiku.
Aku kadang
memiliki beberapa teori yang sedikit “nyeleneh” dalam hidupku dan salah
satunya adalah teori di mana otak berbanding terbalik dengan wajah,
termasuk badan. Aku kadang menemukan beberapa perempuan yang cantik
dengan bentuk badan seperti model sekaligus memiliki otak yang
cemerlang, namun itu sangat amat jarang dan sedikit kutemukan. Entahlah.
Mungkin memang hanya teori sederhanaku saja.
Sejak kecil aku
terbiasa hidup sederhana ala kadarnya. Ayah ibuku bukan pegawai negeri
yang memiliki gaji bulanan yang tetap. Bisa dibilang ayah hanya pekerja
kasar di pelabuhan satu-satunya di kotaku. Aku terbiasa untuk selalu
menghabiskan makan tanpa sisa, karena aku tahu betapa sulitnya ayah dan
ibu untuk mendapatkan makanan untukku dan adikku. Aku terbiasa untuk
makan dengan nasi dan merasa belum makan serta belum kenyang seutuhnya
jika tidak makan dengan nasi. Sebuah teori “nyeleneh” lain dalam
hidupku.
Ketika sekolah, aku tak pernah mempermasalahkan baju
seragamku yang kusam atau kaus kakiku yang bolong, dan tasku yang selalu
ketinggalan zaman dari teman-teman lainnya. Ya, bersekolah di sekolah
favorit dan terbaik memang membanggakan tapi terkadang harus kuakui
dalam beberapa hal aku merasa minder dan kurang percaya diri dengan
teman lainnya. Aku memang cukup pintar, namun bila aku berdiri
disandingkan dengan temanku yang lain maka fisik kami akan terlihat
berlawanan seperti majikan dan pembantu.
Wajahku kusam,
jerawatan, kulit hitam, dan badan gendut. Di sekolah terbaik dan
terfavorit yang rata-rata muridnya adalah orang-orang kaya kelas
menengah ke atas dengan fisik yang nyari sempurna, mana ada orang yang
mau berteman denganku, pikirku sewaktu awal masuk sekolah dulu. Namun
untungnya aku memiliki selera humor yang amat bagus. Itulah daya tarikku
untuk memiliki banyak teman. Tapi untuk teman lelaki yang dekat atau
pacar? Jangan ditanya. Takkan ada yang mau mendekati diriku.
Aku
tak bersedih karena hal itu, toh cukup mengagumi kakak kelas dari
kejauhan sudah cukup bagiku. Kebahagiaan tersendiri bagi wanita gendut
dan jelek sepertiku di waktu dulu. Bagiku teman lebih berharga daripada
pacar dan aku merasa teman lebih membuatku bahagia.
Aku
memang tidak pernah dibully secara kasar oleh temanku sewaktu sekolah
dulu. Namun, pernah ada hal yang menyakitkan dan membuatku selalu
teringat. Dulu, aku sering dipanggil bola. Selalu saat pelajaran
olahraga atau ada hal lain yang berhubungan dengan bola, namaku pasti
akan disebut. Entah seperti saat aku mengambil bola aku disebut bola
ambil bola, atau saat aku lewat di depan temanku aku dipanggil bola
menggelinding serta bercanda akan ada gempa dengan tawa yang sangat
terbahak-bahak. Mungkin itu candaan yang biasa, tapi dengan senyum yang
kupaksakan saat itu jujur hatiku sakit.
Aku manusia yang punya perasaan,
bukan barang atau benda mati. Dan aku juga manusia hidup yang tak bisa
disamakan dengan benda mati seperti bola. Mungkin aku yang berpikiran
berlebihan, tapi itu adalah salah satu pemicu yang membuatku untuk
memutuskan selepas SMA aku harus keluar dari zona hidupku selama ini.
Aku tidak ingin berada satu jenjang akademis dengan mereka-mereka yang
pernah dan selalu menyebutku begitu. Itulah pemicu semangat belajarku
untuk terus belajar dan bisa berhasil masuk kuliah terbaik di luar pulau
tempatku tinggal. Aku bosan dan muak melihat wajah-wajah mereka jika
aku satu tempat kuliah atau satu tempat kerja dengan mereka, walaupun
aku tahu kotaku cukup besar dan memiliki beberapa kabupaten, tapi tetap
saja tekadku bulat untuk berkuliah di luar pulau dan membuktikan kepada
mereka kalau aku bisa lebih baik dari mereka.
Dimulai saat itu
aku semakin serius belajar dan tak pernah terbersit keinginan untuk
mengejek atau memarahi bahkan memusuhi mereka. Bagiku, pembalasanku
terhadap mereka adalah ketika mereka merasa aku lebih baik dari mereka
hingga mereka tak akan pernah mengejekku lagi. Jujur, saat itu aku tidak
memiliki pemikiran untuk memiliki wajah yang bersih, mulus putih cantik
serta badan yang kurus langsing. Aku tidak memiliki cukup uang untuk
perawatan wajah, pergi ke klinik kecantikan, atau membeli perlengkapan
kecantikan lainnya.
Uang yang kumiliki selalu aku simpan untuk
biaya sekolahku dan adikku serta bekal kuliahku nanti, karena aku tahu
ayah dan ibuku pasti tak akan sanggup membiayai kuliahku nanti jika aku
tak memiliki uang sendiri. Aku juga tidak bisa selalu memakan makanan
sehat seperti sayur dan buah setiap hari, karena ibuku hanya memiliki
sedikit uang untuk makan kami sekeluarga yang mana hanya cukup untuk
nasi dan satu lauk makan.
Aku
kadang berpikir dan menyesali kenapa aku terlahir dari keluarga biasa,
kenapa aku memiliki wajah yang jelek, mengapa aku memiliki badan yang
gendut. Namun, ketika aku pulang berada di rumah, berkumpul bersama
ayah, ibu dan adikku serta melihat mereka begitu sayang padaku, mereka
selalu membuatku merasa hangat dan bahagia seutuhnya. Keluargaku tak
pernah sedikitpun mengatakan aku jelek, hitam, atau gendut. Ibuku selalu
berkata aku cantik dan selalu menyuruhku makan setiap aku lapar saat
aku ada di rumah. Ayahku tak pernah berkata aku hitam, karena beliau
bilang kulit beliau lebih hitam legam dan kasar dibanding dengan
kulitku. Dan adikku selalu mengatakan ia bangga memiliki kakak
sepertiku.
Beruntung aku memiliki keluarga yang jadi sumber kekuatanku./Copyright pixabay.com
Maka masih pantaskah aku
mengikuti dan memikirkan kata-kata teman-teman di sekolahku dan
mengabaikan keluargaku? Keluargaku lah yang lebih mengenal diriku apa
adanya. Mereka adalah teman hidup sejati bagiku. Mereka adalah motivasi
dan kekuatan terbesarku menjalani hidupku untuk menjadi perempuan kuat
yang lebih baik lagi.
Sebuah kebanggaan bagiku ketika aku dapat
berkuliah di salah satu Fakultas Kedokteran PTN terbaik di pulau Jawa
dan sangat membanggakan bahwa ayah ibuku selalu berkata ke tetangga
bahwa aku kuliah kedokteran dengan beasiswa. Tak mudah memang berpisah
dan merantau ke pulau lain yang belum pernah kukenal sebelumnya. Tapi
ternyata aku mencintai kota tempat tinggalku ini sekarang.
Seiring
waktu kuliah aku bahkan tak menyadari bahwa berat badanku turun
perlahan. Aku tak menyadari bahwa kegiatan kuliah, organisasi, dan hal
lain di kampus membuat berat badanku turun secara perlahan. Aku tidak
pernah merasa stres, aku selalu menikmati saat kuliah dan kegiatan
lainnya. Aku bahkan tidak menghilangkan jadwal makanku 2 sampai 3 kali
dalam sehari. Entahlah, yang jelas aku merasa sehat dan badanku
baik-baik saja. Bahkan keluargaku pun sempat berpikir aku stres atau
sakit dan terbebani dengan kuliahku. Tapi bahkan diriku sendiri saja
tidak tahu mengapa hal ini terjadi.
Setiap tahun sekolahku selalu
mengadakan reuni. Aku tak pernah menghadiri reuni sekolah, bukan karena
tidak mau, tapi karena jadwal reuni tersebut bentrok dengan jadwal
kepulanganku. Namun saat tahun kemarin ketika aku bisa mendapat cuti
libur lebaran lebih awal dari rumah sakit, aku bisa datang ke reuni
sekolah. Dan kalian tahu? Semua teman sekolahku sempat tak mengenali dan
kaget melihatku. Ya, siapa sangka sekarang wajahku sudah putih bersih
dan badanku langsing seperti perempuan pada umumnya. Aku juga sudah
bekerja sebagai dokter dengan gaji yang cukup dan sedang proses untuk
menjadi dokter termuda spesialis bedah di rumah sakit negeri di kotaku
tinggal sekarang.
Jalan takdir Tuhan memang sangat
menakjubkan. Seorang anak gendut, hitam, jelek dari kampung dengan ayah
kuli pelabuhan bisa menjadi seorang dokter spesialis. Inilah bentuk
pembalasanku terhadap orang-orang yang pernah mengejekku dulu. Hidup
mungkin terasa tak adil. Namun, selalu ada alasan mengapa Tuhan memberi
cobaan yang menurut kita sulit. Aku percaya selalu ada hikmah di balik
musibah, selalu ada pelangi selepas hujan badai.
Maka untuk
perempuan dan orang-orang di luar sana, fisik bukanlah sesuatu yang
layak untuk dijadikan bahan ejekan atau candaan. Kecantikan fisik memang
penting, namun kecantikan hati jauh lebih penting dan berguna dalam
hidup yang sesungguhnya. Bagaimanapun bentuk badan atau wajah dan
fisikmu, yakinlah selalu bahwa dirimu cantik apa adanya dan selalu
percaya banyak orang yang menyayangi dirimu tanpa kau ketahui.
Sumber selengkapnya: https://www.vemale.com/lentera/107483-waktu-sma-bertubuh-gendut-dan-dijuluki-bola-kini-jadi-dokter-yang-sukses.html