Gambar Ilustrasi |
Di tempat tinggalku dulu sewaktu sekolah aku cukup dikenal baik oleh tetangga dan ibu-ibu komplek sebagai anak yang cukup pintar. Bersyukur, karena aku dapat masuk ke sekolah terfavorit di kotaku, bahkan dapat berkuliah di salah satu PTN terbaik Indonesia di luar pulau tempatku tinggal. Sebuah kebanggan tersendiri untuk anak kampung sepertiku.
Aku kadang memiliki beberapa teori yang sedikit “nyeleneh” dalam hidupku dan salah satunya adalah teori di mana otak berbanding terbalik dengan wajah, termasuk badan. Aku kadang menemukan beberapa perempuan yang cantik dengan bentuk badan seperti model sekaligus memiliki otak yang cemerlang, namun itu sangat amat jarang dan sedikit kutemukan. Entahlah. Mungkin memang hanya teori sederhanaku saja.
Sejak kecil aku terbiasa hidup sederhana ala kadarnya. Ayah ibuku bukan pegawai negeri yang memiliki gaji bulanan yang tetap. Bisa dibilang ayah hanya pekerja kasar di pelabuhan satu-satunya di kotaku. Aku terbiasa untuk selalu menghabiskan makan tanpa sisa, karena aku tahu betapa sulitnya ayah dan ibu untuk mendapatkan makanan untukku dan adikku. Aku terbiasa untuk makan dengan nasi dan merasa belum makan serta belum kenyang seutuhnya jika tidak makan dengan nasi. Sebuah teori “nyeleneh” lain dalam hidupku.
Ketika sekolah, aku tak pernah mempermasalahkan baju seragamku yang kusam atau kaus kakiku yang bolong, dan tasku yang selalu ketinggalan zaman dari teman-teman lainnya. Ya, bersekolah di sekolah favorit dan terbaik memang membanggakan tapi terkadang harus kuakui dalam beberapa hal aku merasa minder dan kurang percaya diri dengan teman lainnya. Aku memang cukup pintar, namun bila aku berdiri disandingkan dengan temanku yang lain maka fisik kami akan terlihat berlawanan seperti majikan dan pembantu.
Wajahku kusam, jerawatan, kulit hitam, dan badan gendut. Di sekolah terbaik dan terfavorit yang rata-rata muridnya adalah orang-orang kaya kelas menengah ke atas dengan fisik yang nyari sempurna, mana ada orang yang mau berteman denganku, pikirku sewaktu awal masuk sekolah dulu. Namun untungnya aku memiliki selera humor yang amat bagus. Itulah daya tarikku untuk memiliki banyak teman. Tapi untuk teman lelaki yang dekat atau pacar? Jangan ditanya. Takkan ada yang mau mendekati diriku.
Aku tak bersedih karena hal itu, toh cukup mengagumi kakak kelas dari kejauhan sudah cukup bagiku. Kebahagiaan tersendiri bagi wanita gendut dan jelek sepertiku di waktu dulu. Bagiku teman lebih berharga daripada pacar dan aku merasa teman lebih membuatku bahagia.
Aku manusia yang punya perasaan, bukan barang atau benda mati. Dan aku juga manusia hidup yang tak bisa disamakan dengan benda mati seperti bola. Mungkin aku yang berpikiran berlebihan, tapi itu adalah salah satu pemicu yang membuatku untuk memutuskan selepas SMA aku harus keluar dari zona hidupku selama ini. Aku tidak ingin berada satu jenjang akademis dengan mereka-mereka yang pernah dan selalu menyebutku begitu. Itulah pemicu semangat belajarku untuk terus belajar dan bisa berhasil masuk kuliah terbaik di luar pulau tempatku tinggal. Aku bosan dan muak melihat wajah-wajah mereka jika aku satu tempat kuliah atau satu tempat kerja dengan mereka, walaupun aku tahu kotaku cukup besar dan memiliki beberapa kabupaten, tapi tetap saja tekadku bulat untuk berkuliah di luar pulau dan membuktikan kepada mereka kalau aku bisa lebih baik dari mereka.Aku memang tidak pernah dibully secara kasar oleh temanku sewaktu sekolah dulu. Namun, pernah ada hal yang menyakitkan dan membuatku selalu teringat. Dulu, aku sering dipanggil bola. Selalu saat pelajaran olahraga atau ada hal lain yang berhubungan dengan bola, namaku pasti akan disebut. Entah seperti saat aku mengambil bola aku disebut bola ambil bola, atau saat aku lewat di depan temanku aku dipanggil bola menggelinding serta bercanda akan ada gempa dengan tawa yang sangat terbahak-bahak. Mungkin itu candaan yang biasa, tapi dengan senyum yang kupaksakan saat itu jujur hatiku sakit.
Dimulai saat itu aku semakin serius belajar dan tak pernah terbersit keinginan untuk mengejek atau memarahi bahkan memusuhi mereka. Bagiku, pembalasanku terhadap mereka adalah ketika mereka merasa aku lebih baik dari mereka hingga mereka tak akan pernah mengejekku lagi. Jujur, saat itu aku tidak memiliki pemikiran untuk memiliki wajah yang bersih, mulus putih cantik serta badan yang kurus langsing. Aku tidak memiliki cukup uang untuk perawatan wajah, pergi ke klinik kecantikan, atau membeli perlengkapan kecantikan lainnya.
Uang yang kumiliki selalu aku simpan untuk biaya sekolahku dan adikku serta bekal kuliahku nanti, karena aku tahu ayah dan ibuku pasti tak akan sanggup membiayai kuliahku nanti jika aku tak memiliki uang sendiri. Aku juga tidak bisa selalu memakan makanan sehat seperti sayur dan buah setiap hari, karena ibuku hanya memiliki sedikit uang untuk makan kami sekeluarga yang mana hanya cukup untuk nasi dan satu lauk makan.
Aku kadang berpikir dan menyesali kenapa aku terlahir dari keluarga biasa, kenapa aku memiliki wajah yang jelek, mengapa aku memiliki badan yang gendut. Namun, ketika aku pulang berada di rumah, berkumpul bersama ayah, ibu dan adikku serta melihat mereka begitu sayang padaku, mereka selalu membuatku merasa hangat dan bahagia seutuhnya. Keluargaku tak pernah sedikitpun mengatakan aku jelek, hitam, atau gendut. Ibuku selalu berkata aku cantik dan selalu menyuruhku makan setiap aku lapar saat aku ada di rumah. Ayahku tak pernah berkata aku hitam, karena beliau bilang kulit beliau lebih hitam legam dan kasar dibanding dengan kulitku. Dan adikku selalu mengatakan ia bangga memiliki kakak sepertiku.
Sebuah kebanggaan bagiku ketika aku dapat berkuliah di salah satu Fakultas Kedokteran PTN terbaik di pulau Jawa dan sangat membanggakan bahwa ayah ibuku selalu berkata ke tetangga bahwa aku kuliah kedokteran dengan beasiswa. Tak mudah memang berpisah dan merantau ke pulau lain yang belum pernah kukenal sebelumnya. Tapi ternyata aku mencintai kota tempat tinggalku ini sekarang.
Seiring waktu kuliah aku bahkan tak menyadari bahwa berat badanku turun perlahan. Aku tak menyadari bahwa kegiatan kuliah, organisasi, dan hal lain di kampus membuat berat badanku turun secara perlahan. Aku tidak pernah merasa stres, aku selalu menikmati saat kuliah dan kegiatan lainnya. Aku bahkan tidak menghilangkan jadwal makanku 2 sampai 3 kali dalam sehari. Entahlah, yang jelas aku merasa sehat dan badanku baik-baik saja. Bahkan keluargaku pun sempat berpikir aku stres atau sakit dan terbebani dengan kuliahku. Tapi bahkan diriku sendiri saja tidak tahu mengapa hal ini terjadi.
Maka untuk perempuan dan orang-orang di luar sana, fisik bukanlah sesuatu yang layak untuk dijadikan bahan ejekan atau candaan. Kecantikan fisik memang penting, namun kecantikan hati jauh lebih penting dan berguna dalam hidup yang sesungguhnya. Bagaimanapun bentuk badan atau wajah dan fisikmu, yakinlah selalu bahwa dirimu cantik apa adanya dan selalu percaya banyak orang yang menyayangi dirimu tanpa kau ketahui.Jalan takdir Tuhan memang sangat menakjubkan. Seorang anak gendut, hitam, jelek dari kampung dengan ayah kuli pelabuhan bisa menjadi seorang dokter spesialis. Inilah bentuk pembalasanku terhadap orang-orang yang pernah mengejekku dulu. Hidup mungkin terasa tak adil. Namun, selalu ada alasan mengapa Tuhan memberi cobaan yang menurut kita sulit. Aku percaya selalu ada hikmah di balik musibah, selalu ada pelangi selepas hujan badai.
Sumber selengkapnya: https://www.vemale.com/lentera/107483-waktu-sma-bertubuh-gendut-dan-dijuluki-bola-kini-jadi-dokter-yang-sukses.html