Perjalanan hidup mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memang selalu penuh pelajaran. Salah satunya adalah kala Gus Dur menangis haru saat sebuah kita etika karangan filsuf Yunani Kuno, Aristoteles.
Dalam kesempatan sambutan
ketika silaturrahim ke Pondok Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber Wonosobo,
Jawa Tengah tahun 2000, Gus Dur yang waktu itu sedang menjabat sebagai
Presiden RI menceritakan bahwa pada tahun 1979 dirinya pernah berkunjung
ke Maroko.
Di salah satu masjid
negara setempat ia mendapati sebuah kitab terjemahan arab, yaitu kitab
etika karangan Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno.
Kitab
yang berisi tentang materi etika atau akhlak tersebut terletak di
sebuah bejana kaca ruang hampa udara. Itu dimaksudkan supaya bisa tahan
lama, karena kitab dimaksud ada sejak zaman permulaan Islam.
Menyaksikan
kitab langka yang berada di bejana kecil itu, Gus Dur menangisinya.
Melihat Gus Dur menangis terharu, imam masjid setempat bertanya:
"Kenapa anda menangis,” tanya sang imam masjid.
"Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan jadi muslim," jawab Gus Dur.
Lewat
cerita di atas Gus Dur menyimpulkan bahwa akhlaknya para kiai dan ulama
Indonesia yang selama ini dipraktikkan itu bersumber tidak hanya
diambil dari nilai-nilai saja, melainkan juga diambil dari nilai-nilai
dan etika sebelumnya. Dia mencontohkan, Aristoteles lahir 1200 tahun
sebelum Islam. Kalau tidak karena kitab ini, kata Gus Dur, dirinya tidak
akan jadi seorang muslim.
Karena menurut Gus
Dur, seorang muslim adalah yang menerapkan nilai-nilai dan etika Islam
yang ditujukan untuk mewujudkan kebaikan bersama dan keadilan di tengah
masyarakat. Bukan muslim yang hanya menonjolkan simbol-simbol Islam,
tetapi jauh dari nilai dan etika Islam rahmatan lil 'alamin.
Pada
kesempatan pidato itu Gus Dur juga bercerita, dirinya sering ditanya
orang tentang perbedaan Islam di Indonesia dengan Islam di negara lain.
Menurut Gus Dur, Islamnya sama, tetapi perwujudan dan manifestasinya itu
yang lain-lain.
"Yang membedakan adalah adanya
tradisi keulamaan (di Indonesia) yang diambil dari Sultan Hadiwijaya
atau Jaka Tingkir, yaitu tradisi LSM yang bergerak di luar pemerintahan.
Dalam istilahnya Taufik Abdullah yaitu tradisi multikratonik," jelas
Gus Dur.
"Ada kraton pusat yang memegangi satu
tata nilai, namun tidak sampai mematikan tata nilai di pondok-pondok
pesantren, di padepokan-padepokan kejawen, dan di pasturan," tambahnya.
Dengan
kata lain, menurut Gus Dur, hal semacam itu adalah ungkapan dari apa
yang kita miliki bersama sebagai bangsa Indonesia. Dan ini menjadi inti
dari keputusan muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, sepuluh tahun
sebelum Indonesia merdeka.
Karena itu, dalam
pandangan Gus Dur, Islam di Indonesia dapat berkembang dengan baik,
tanpa harus melalui bermacam-macam hal. Sedangkan sekarang (tahun 2000)
terpampang di hadapan kita, adanya bahaya kalau agama dijadikan alat
politik untuk mencapai sesuatu. Maka jadinya seperti di Maluku, saat
terjadi konflik hebat bermuatan SARA.
"Karena
itu, kita harus berhati-hati jangan sampai agama jadi alat politik.
Partai politik berdasar agama boleh-boleh saja. Tetapi partai politik
harus mendasarkan programnya pada kepentingan nyata masyarakat. Bukan
pada ajaran agama yang resmi. Jadi agama dalam pelaksanaanya bukan dalam
perumusannya,” tutur Gus Dur. (M Haromain)
Disarikan dari:
Tabloid POLES, edisi 09 (10 September 2000)
Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH Muntaha Alhafidz: Ulama Multidimensi, Penerbit UNSIQ Wonosobo dan Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber.Sumber: http://www.nu.or.id/
Selengkapnya: klik disini
0 komentar:
Post a Comment